Saturday, May 7, 2011

Perilaku Hewan sebagai Bioindikator Lingkungan

(Nana Citrawati Lestari, A2C110009, SDN Inti Pengambangan 3, Banjarmasin)

        Hewan berinteraksi dengan lingkungannya agar dapat terus bertahan hidup. Mereka melakukan adaptasi dengan berbagai cara yang ditunjukkan melalui reaksi-reaksi dalam berinteraksi antara lain berupa perbubahan organ, sifat, atau perilaku. Reaksi tersebut tidak akan berubah atau akan berubah secara normal apabila lingkungan sekitarnya juga dalam kondisi normal atau masih dalam kisaran yang dapat diterima oleh suatu spesies. Sebaliknya, reaksi pada spesies itu akan berubah secara tidak normal atau bahkan menyebabkan kematian apabila perubahan yang terjadi pada lingkungan telah melebihi batas kemampuan (Riefani, tanpa tahun).
        Kebanyakan hewan hanya dapat bertahan hidup dalam kisaran suhu, salinitas, kelembaban tertentu, dan sebagainya. Kisaran ini relatif luas bagi hewan, seperti mamalia dan burung, yang banyak mempunyai mekanisme yang efisien untuk mempertahankan kendali homeostatis terhadap lingkungannya. Perilaku hewan dalam mempertahankan diri dari perubahan lingkungan yang ekstrim dapat berupa perilaku abnormal, misalnya bersikap histeris atau melarikan diri dari habitatnya. Adapun perilaku antara spesies satu berbeda dengan spesies lainnya, karena setiap spesies mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda. Perilaku khas hewan ini lah yang bisa dijadikan sebagai bioindikator lingkungan.
        Bioindikator adalah suatu populasi tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme (yaitu organisme yang sangat kecil) yang dapat memberikan perubahan karena pengaruh kondisi lingkungan. Beberapa kriteria umum untuk menggunakan suatu jenis organisme sebagai bioindikator (Pearson, 1994) antara lain:
1)        Secara taksonomi telah dikenal luas, dapat diidentifikasikan dengan jelas, dan bersifat stabil.
2)        Sejarah alamiahnya diketahui.
3)        Populasinya dapat disurvei, ditemukan, diamati, dan ditandai atau diberi perlakuan dengan mudah.
4)        Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat.
5)        Taksa yang lebih rendah spesialis dan sensitif terhadap perubahan habitat.
6)        Pola keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat atau tidak.
7)        Memiliki potensi ekonomi yang penting.
       Hewan memiliki indera keenam dan dapat merasakan gejala suatu bencana. Sebelum terjadinya suatu bencana, hewan akan cenderung bertingkah laku abnormal. Perilaku hewan yang abnormal sering digunakan oleh ilmuan untuk memprediksi bencana alam. Berikut adalah contoh-contoh fenomena dan fakta tentang perilaku abnormal hewan sebagai bioindikator bencana (Shiddieqy, 2010), antara lain:
1.        Hilangnya hewan peliharaan (anjing dan kucing) naik secara signifikan selama dua minggu sebelum gempa di Loma Prieta, Northern California.
2.        Sekitar 80% gempa di Jepang terjadi di tengah lautan. Hal ini menyebabkan terjadinya perilaku abnormal pada ikan. Spesies ikan yang biasa hidup di lautan dingin yang dalam dapat tertangkap oleh nelayan di perairan yang dangkal dan hangat beberapa saat sebelum terjadinya gempa. Ikan memiliki sensitivitas tinggi terhadap variasi medan elektrik yang terjadi sebelum gempa. Sensitivitas seperti ini memungkinkan beberapa hewan untuk dapat mendeteksi gas radon yang dikeluarkan dari tanah sebelum gempa.
3.      Sebulan sebelum terjadinya gempa di Kota Haicheng di Provinsi Liaoning Cina pada bulan Februari 1975, banyak laporan mengenai perilaku abnormal hewan ternak seperti sapi, babi, kuda, dan anjing.
4.        Tsunami besar yang melanda Sri Lanka pada akhir 2004 lalu juga didahului perilaku tak lazim dari hewan-hewan. Kantor berita Reuters melaporkan, Taman Nasional Yala di Sri Lanka telah dipenuhi mayat manusia, tetapi tidak satu pun ditemukan bangkai-bangkai hewan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hewan-hewan telah terlebih dahulu pergi menyelamatkan diri.
5.        Sebelum terjadinya gempa bumi yang melanda Cianjur, Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi pada tahun 2009, situs berita dalam negeri memberitakan bahwa hewan-hewan di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor menunjukkan perilaku aneh. Dilaporkan, empat puluh ekor gajah tampak histeris dan mengeluarkan lengkingan suara keras dari belalainya.
       Selain untuk bencana alam, hewan juga bisa digunakan sebagai bioindikator pencemaran lingkungan. Lingkungan yang tercemar mengakibatkan gangguan pada makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya.  Perubahan yang terjadi pada makhuk hidup dapat menunjukkan terjadinya pencemaran. Bioindikator dapat digunakan untuk mengidentifikasi lingkungan terhadap pencemaran udara, air, dan tanah.
      Penggunaan hewan sebagai bioindikator pencemaran udara masih terbatas. Bioindikator yang dapat digunakan untuk melihat pencemaran udara adalah hewan laba-laba. Jenis yang sangat baik digunakan untuk indikator polusi udara adalah Centromerus sylvaticus (laba-laba pembuat jaring perangkap). Laba-laba jenis itu populasinya akan meningkat seiring meningkatnya kadar polutan di udara (Wiyono & Sutrisno, 2009).
       Fauna makrobentik/bentos telah digunakan secara luas sebagai bioindikator pencemaran perairan, karena peran pentingnya dalam sistem rantai makanan (Arimoro & Ikomi, 2008). Selain itu hewan tersebut juga sensitif terhadap perubahan lingkungan dan karakteristik habitat (Kratzer et al, 2006). Komunitas fauna makrobentik sering digunakan dalam mendeteksi gangguan ekologi akibat kontaminasi logam berat di perairan. Biasanya respon ekologi yang ditimbulkan oleh komunitas makrobentik avertebrata yaitu menurunnya jumlah kekayaan jenis dan kelimpahan, serta bergesernya komposisi taksa dari yang sensitif menjadi taksa yang toleran (Luoma & Carter, 1991).
       Salah satu komunitas fauna makrobentik yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran perairan yaitu larva Trichoptera. Larva Trichoptera merupakan salah satu penyusun komponen terbesar dari komunitas bentik makroavertebrata pada ekosistem akuatik lotik (Wiggins, 1996; Vouri & Kukkonen, 1996). Dalam hubungannya dengan faktor kimia di perairan, hewan tersebut dapat dijumpai dari perairan belum tercemar hingga perairan tercemar berat. Sebagai contoh Hydropsyche dan Cheumatopsyche relatif sensitif pada air yang sudah terpolusi (Chakona et al, 2009) sehingga keberadaannya menjadi berkurang. Keberadaan hewan tersebut akan meningkat kembali di bagian hilir ketika kualitas airnya mengalami peningkatan (Sudarso, 2009).
        Populasi hewan tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana hewan itu berada. Hewan tanah bereaksi cepat terhadap perubahan lingkungan, baik yang datang dari tanah, faktor iklim dan pengelolaan tanah sesuai kemampuan mempertahankan dirinya (Suin, 1989). Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik.
       Nematoda tanah merupakan salah satu contoh hewan tanah yang digunakan sebagai bioindikator untuk mengukur tingkat pencemaran tanah (Yeates, 2003). Keberadaan Nematoda tanah dapat meningkatkan kandungan nutrisi pada tanah yang akan menyebabkan tanah menjadi subur. Populasi hewan tersebut  dipengaruhi oleh kondisi tanah habitatnya, seperti suhu, kelembapan, pH, salinitas, aerasi, dan tekstur tanah.
Beberapa kriteria yang dipenuhi oleh nematoda tanah, sehingga dapat dijadikan sebagai bioindikator, yaitu
a.         Memiliki keanekaragaman yang tinggi, mudah diekstraksi dari tanah, relatif mudah diidentifikasi, berperan dalam jaring makanan, waktu generasi hidup yang relatif singkat, menunjukkan respons yang spesifik terhadap berbagai gangguan tanah, dan kemampuan berkoloni yang tinggi (Bongers & Bongers, 1998).
b.        Memiliki kulit yang permeabel, sehingga peka terhadap polutan (Neher, 2001).
c.         Kehidupan hewan ini sangat tergantung pada habitatnya, yang mempengaruhi keberadaan dan kepadatan populasinya (Suin, 1989).
       Berbagai perilaku khas hewan di muka bumi seperti yang telah dituliskan di atas merupakan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tanda-tanda tersebut memberikan kita inspirasi untuk mengkaji lebih dalam mengenai berbagai perilaku hewan dan interaksinya dengan lingkungan. Semakin dalam manusia mengkajinya, semakin banyak pula manfaat yang akan didapat.


DAFTAR PUSTAKA
Arimoro, F.O. & R.B. Ikomi. Ecological integrity of upper Warri River, Niger Delta using aquatic insects as bioindicators. Ecological Indicators. Doi:10.1016/j,ecolind.2008.06.006 

Bongers, T. & M. Bongers. 1998. Functional Diversity of Nematodes. Applied Soil Ecology. 10: 239-251.

Luoma, S.N. & J.L. Carter. 1991. Effect of trace metal on aquatic benthos, in M.C. Newman and A.W. McIntosh (Eds). Metal Ecotoxicology: Concept and Aplications. Lewish Publisher. Chelsea. Michigan. 261-300.  

Pearson, D.L. 1994. Selecting Indicator Taxa for the Quantitative Assessment of Biodiversity. Philosophical Transaction of the Royal Society of London, Series B: Biological Sciences, 345: 75-79.

Riefani, M.K. (tanpa tahun). Sumberdaya Hayati sebagai Bioindikator. Dalam Soendjoto, M.A. & M.K. Riefani. Merindukan Alam Asri Lestari. Universitas Lambung Mangkurat Press. Banjarmasin.

Shiddieqy, M.I. 2010. Pikiran Rakyat: Bencana dan Perilaku Abnormal Hewan. Kliping Humas Universitas Padjadjaran. Bandung.

Sudarso, Y. 2009. Potensi Larva Trichoptera sebagai Bioindikator Akuatik. Oseonologi dan Limnologi di Indonesia. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI.

Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.

Wiyono, M. & Sutrisno. 2009. (Editor). Pendidikan Lingkungan Hidup. Jilid 5. PPLH Lembaga Penelitian UM. Malang.   

Yeates, G.W. 2003. Nematodes as Soil Indicators: Functional and Biodiversity Aspects. Biology and Fertility of Soils. 37: 199-210.