Saturday, May 7, 2011

Perilaku Hewan sebagai Bioindikator Lingkungan

(Nana Citrawati Lestari, A2C110009, SDN Inti Pengambangan 3, Banjarmasin)

        Hewan berinteraksi dengan lingkungannya agar dapat terus bertahan hidup. Mereka melakukan adaptasi dengan berbagai cara yang ditunjukkan melalui reaksi-reaksi dalam berinteraksi antara lain berupa perbubahan organ, sifat, atau perilaku. Reaksi tersebut tidak akan berubah atau akan berubah secara normal apabila lingkungan sekitarnya juga dalam kondisi normal atau masih dalam kisaran yang dapat diterima oleh suatu spesies. Sebaliknya, reaksi pada spesies itu akan berubah secara tidak normal atau bahkan menyebabkan kematian apabila perubahan yang terjadi pada lingkungan telah melebihi batas kemampuan (Riefani, tanpa tahun).
        Kebanyakan hewan hanya dapat bertahan hidup dalam kisaran suhu, salinitas, kelembaban tertentu, dan sebagainya. Kisaran ini relatif luas bagi hewan, seperti mamalia dan burung, yang banyak mempunyai mekanisme yang efisien untuk mempertahankan kendali homeostatis terhadap lingkungannya. Perilaku hewan dalam mempertahankan diri dari perubahan lingkungan yang ekstrim dapat berupa perilaku abnormal, misalnya bersikap histeris atau melarikan diri dari habitatnya. Adapun perilaku antara spesies satu berbeda dengan spesies lainnya, karena setiap spesies mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda. Perilaku khas hewan ini lah yang bisa dijadikan sebagai bioindikator lingkungan.
        Bioindikator adalah suatu populasi tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme (yaitu organisme yang sangat kecil) yang dapat memberikan perubahan karena pengaruh kondisi lingkungan. Beberapa kriteria umum untuk menggunakan suatu jenis organisme sebagai bioindikator (Pearson, 1994) antara lain:
1)        Secara taksonomi telah dikenal luas, dapat diidentifikasikan dengan jelas, dan bersifat stabil.
2)        Sejarah alamiahnya diketahui.
3)        Populasinya dapat disurvei, ditemukan, diamati, dan ditandai atau diberi perlakuan dengan mudah.
4)        Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat.
5)        Taksa yang lebih rendah spesialis dan sensitif terhadap perubahan habitat.
6)        Pola keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat atau tidak.
7)        Memiliki potensi ekonomi yang penting.
       Hewan memiliki indera keenam dan dapat merasakan gejala suatu bencana. Sebelum terjadinya suatu bencana, hewan akan cenderung bertingkah laku abnormal. Perilaku hewan yang abnormal sering digunakan oleh ilmuan untuk memprediksi bencana alam. Berikut adalah contoh-contoh fenomena dan fakta tentang perilaku abnormal hewan sebagai bioindikator bencana (Shiddieqy, 2010), antara lain:
1.        Hilangnya hewan peliharaan (anjing dan kucing) naik secara signifikan selama dua minggu sebelum gempa di Loma Prieta, Northern California.
2.        Sekitar 80% gempa di Jepang terjadi di tengah lautan. Hal ini menyebabkan terjadinya perilaku abnormal pada ikan. Spesies ikan yang biasa hidup di lautan dingin yang dalam dapat tertangkap oleh nelayan di perairan yang dangkal dan hangat beberapa saat sebelum terjadinya gempa. Ikan memiliki sensitivitas tinggi terhadap variasi medan elektrik yang terjadi sebelum gempa. Sensitivitas seperti ini memungkinkan beberapa hewan untuk dapat mendeteksi gas radon yang dikeluarkan dari tanah sebelum gempa.
3.      Sebulan sebelum terjadinya gempa di Kota Haicheng di Provinsi Liaoning Cina pada bulan Februari 1975, banyak laporan mengenai perilaku abnormal hewan ternak seperti sapi, babi, kuda, dan anjing.
4.        Tsunami besar yang melanda Sri Lanka pada akhir 2004 lalu juga didahului perilaku tak lazim dari hewan-hewan. Kantor berita Reuters melaporkan, Taman Nasional Yala di Sri Lanka telah dipenuhi mayat manusia, tetapi tidak satu pun ditemukan bangkai-bangkai hewan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hewan-hewan telah terlebih dahulu pergi menyelamatkan diri.
5.        Sebelum terjadinya gempa bumi yang melanda Cianjur, Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi pada tahun 2009, situs berita dalam negeri memberitakan bahwa hewan-hewan di Taman Safari Indonesia (TSI), Bogor menunjukkan perilaku aneh. Dilaporkan, empat puluh ekor gajah tampak histeris dan mengeluarkan lengkingan suara keras dari belalainya.
       Selain untuk bencana alam, hewan juga bisa digunakan sebagai bioindikator pencemaran lingkungan. Lingkungan yang tercemar mengakibatkan gangguan pada makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya.  Perubahan yang terjadi pada makhuk hidup dapat menunjukkan terjadinya pencemaran. Bioindikator dapat digunakan untuk mengidentifikasi lingkungan terhadap pencemaran udara, air, dan tanah.
      Penggunaan hewan sebagai bioindikator pencemaran udara masih terbatas. Bioindikator yang dapat digunakan untuk melihat pencemaran udara adalah hewan laba-laba. Jenis yang sangat baik digunakan untuk indikator polusi udara adalah Centromerus sylvaticus (laba-laba pembuat jaring perangkap). Laba-laba jenis itu populasinya akan meningkat seiring meningkatnya kadar polutan di udara (Wiyono & Sutrisno, 2009).
       Fauna makrobentik/bentos telah digunakan secara luas sebagai bioindikator pencemaran perairan, karena peran pentingnya dalam sistem rantai makanan (Arimoro & Ikomi, 2008). Selain itu hewan tersebut juga sensitif terhadap perubahan lingkungan dan karakteristik habitat (Kratzer et al, 2006). Komunitas fauna makrobentik sering digunakan dalam mendeteksi gangguan ekologi akibat kontaminasi logam berat di perairan. Biasanya respon ekologi yang ditimbulkan oleh komunitas makrobentik avertebrata yaitu menurunnya jumlah kekayaan jenis dan kelimpahan, serta bergesernya komposisi taksa dari yang sensitif menjadi taksa yang toleran (Luoma & Carter, 1991).
       Salah satu komunitas fauna makrobentik yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran perairan yaitu larva Trichoptera. Larva Trichoptera merupakan salah satu penyusun komponen terbesar dari komunitas bentik makroavertebrata pada ekosistem akuatik lotik (Wiggins, 1996; Vouri & Kukkonen, 1996). Dalam hubungannya dengan faktor kimia di perairan, hewan tersebut dapat dijumpai dari perairan belum tercemar hingga perairan tercemar berat. Sebagai contoh Hydropsyche dan Cheumatopsyche relatif sensitif pada air yang sudah terpolusi (Chakona et al, 2009) sehingga keberadaannya menjadi berkurang. Keberadaan hewan tersebut akan meningkat kembali di bagian hilir ketika kualitas airnya mengalami peningkatan (Sudarso, 2009).
        Populasi hewan tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana hewan itu berada. Hewan tanah bereaksi cepat terhadap perubahan lingkungan, baik yang datang dari tanah, faktor iklim dan pengelolaan tanah sesuai kemampuan mempertahankan dirinya (Suin, 1989). Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik.
       Nematoda tanah merupakan salah satu contoh hewan tanah yang digunakan sebagai bioindikator untuk mengukur tingkat pencemaran tanah (Yeates, 2003). Keberadaan Nematoda tanah dapat meningkatkan kandungan nutrisi pada tanah yang akan menyebabkan tanah menjadi subur. Populasi hewan tersebut  dipengaruhi oleh kondisi tanah habitatnya, seperti suhu, kelembapan, pH, salinitas, aerasi, dan tekstur tanah.
Beberapa kriteria yang dipenuhi oleh nematoda tanah, sehingga dapat dijadikan sebagai bioindikator, yaitu
a.         Memiliki keanekaragaman yang tinggi, mudah diekstraksi dari tanah, relatif mudah diidentifikasi, berperan dalam jaring makanan, waktu generasi hidup yang relatif singkat, menunjukkan respons yang spesifik terhadap berbagai gangguan tanah, dan kemampuan berkoloni yang tinggi (Bongers & Bongers, 1998).
b.        Memiliki kulit yang permeabel, sehingga peka terhadap polutan (Neher, 2001).
c.         Kehidupan hewan ini sangat tergantung pada habitatnya, yang mempengaruhi keberadaan dan kepadatan populasinya (Suin, 1989).
       Berbagai perilaku khas hewan di muka bumi seperti yang telah dituliskan di atas merupakan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tanda-tanda tersebut memberikan kita inspirasi untuk mengkaji lebih dalam mengenai berbagai perilaku hewan dan interaksinya dengan lingkungan. Semakin dalam manusia mengkajinya, semakin banyak pula manfaat yang akan didapat.


DAFTAR PUSTAKA
Arimoro, F.O. & R.B. Ikomi. Ecological integrity of upper Warri River, Niger Delta using aquatic insects as bioindicators. Ecological Indicators. Doi:10.1016/j,ecolind.2008.06.006 

Bongers, T. & M. Bongers. 1998. Functional Diversity of Nematodes. Applied Soil Ecology. 10: 239-251.

Luoma, S.N. & J.L. Carter. 1991. Effect of trace metal on aquatic benthos, in M.C. Newman and A.W. McIntosh (Eds). Metal Ecotoxicology: Concept and Aplications. Lewish Publisher. Chelsea. Michigan. 261-300.  

Pearson, D.L. 1994. Selecting Indicator Taxa for the Quantitative Assessment of Biodiversity. Philosophical Transaction of the Royal Society of London, Series B: Biological Sciences, 345: 75-79.

Riefani, M.K. (tanpa tahun). Sumberdaya Hayati sebagai Bioindikator. Dalam Soendjoto, M.A. & M.K. Riefani. Merindukan Alam Asri Lestari. Universitas Lambung Mangkurat Press. Banjarmasin.

Shiddieqy, M.I. 2010. Pikiran Rakyat: Bencana dan Perilaku Abnormal Hewan. Kliping Humas Universitas Padjadjaran. Bandung.

Sudarso, Y. 2009. Potensi Larva Trichoptera sebagai Bioindikator Akuatik. Oseonologi dan Limnologi di Indonesia. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI.

Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.

Wiyono, M. & Sutrisno. 2009. (Editor). Pendidikan Lingkungan Hidup. Jilid 5. PPLH Lembaga Penelitian UM. Malang.   

Yeates, G.W. 2003. Nematodes as Soil Indicators: Functional and Biodiversity Aspects. Biology and Fertility of Soils. 37: 199-210.

PERILAKU HEWAN UNTUK PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT

(Nana Citrawati Lestari, A2C110009, SDN Inti Pengambangan 3, Banjarmasin)
        Perilaku atau tingkah laku adalah tindakan atau aksi yang mengubah hubungan antara organisme dan lingkungannya. Hal itu merupakan kegiatan yang diarahkan dari luar dan tidak mencakup banyak perubahan di dalam tubuh yang secara tetap terjadi pada makhluk hidup. Perilaku dapat terjadi sebagai akibat suatu stimulus dari luar. Untuk mendeteksi suatu reseptor diperlukan adanya stimulus, untuk mengkoordinasikan respon memerlukan saraf, dan yang menjalankan aksi adalah efektor. Perilaku dapat juga disebabkan stimulus dari dalam, contohnya ketika hewan merasa lapar maka dia akan mencari makanan untuk menghilangkan rasa laparnya (Suhara, 2010).
        Berbagai perilaku khas hewan di muka bumi seperti sesungguhnya merupakan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tanda-tanda tersebut memberikan kita inspirasi untuk mengkaji lebih dalam mengenai berbagai perilaku hewan dan interaksinya dengan lingkungan. Semakin dalam manusia mempelajarinya, semakin banyak pula manfaat yang akan didapat.
Menurut Lehner (1979), perilaku yang dipelajari dari hewan tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa perilaku itu terjadi. Adapun perilaku hewan menurut Tomaszewska diklasifikasikan menjadi sepuluh macam (Wahyuni, 2005), yaitu:
1.             Perilaku makan dan minum serta kegiatan lainnya yang berhubungan dengan hal tersebut (ingestive).
2.             Perilaku pencarian tempat berteduh (shelter seeking).
3.             Perilaku penyidikan (investigatory).
4.             Perilaku kecenderungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu (allelomimetic).
5.             Perilaku berselisih, bertengkar, dan menghindar (agonistic).
6.             Perilaku membuang kotoran dan kencing (eliminative).
7.             Perilaku memberikan perhatian dari induk ke anak (epimeletic/care giving).
8.             Perilaku meminta perhatian dari anak ke induk (epimeletic/care soliciting).
9.             Perilaku seksual atau reproduksi (sexual or reproduction).
10.         Perilaku bermain (play).
Hewan sebagai salah satu sumberdaya hayati mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, salah satunya untuk pengendalian hama dan penyakit. Pengamatan terhadap perilaku adaptif hewan sangat penting karena merupakan bagian dari langkah pengendalian hama dan penyakit, yakni sebagai bahan pertimbangan sebelum menentukan cara pengendaliannya.  Adapun urutan langkah pengendalian hama yang ideal (Hadi, 2011), antara lain:
1.        Mengetahui identitas hama sasaran
Apakah hama yang akan dikendalikan dari jenis serangga seperti lalat, tungau, kutu atau dari jenis lain.
2.        Mengetahui sifat dan cara hidup (bioekologi) hama sasaran
Mengetahui informasi mengenai bagaimana daur hidup, habitat, waktu dan perilaku makan, waktu dan perilaku beristirahat, jarak terbang atau pemencarannya bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi pengendalian hama. Sebagai contoh, pada pengamatan lalat, kemudian kita ketahui bahwa habitat lalat pradewasa adalah tumpukan kotoran hewan, sampah, dan tempat-tempat pembusukan lainnya, maka sasaran pengendaliannya adalah dengan menghilangkan habitat yang disukai lalat.
3.        Memilih alternatif cara pengendalian
Monitoring populasi hama secara terus menerus diperlukan untuk mencari alternatif dalam penanggulangan hama selain menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida memang adalah langkah yang cepat, tetapi bukan hal yang tepat. Karena pestisida secara jangka menengah maupun panjang juga akan membahayakan manusia dan juga organisme lainnya.
4.        Memilih pestisida
Apabila keadaan mengharuskan penggunaan pestisida, maka yang harus diingat adalah kemungkinan terjadinya berbagai efek samping seperti kemungkinan keracunan langsung pada ternak dan makhluk bukan-sasaran lainnya, pencemaran, serta timbulnya resistensi pada populasi hama serangga sasaran setelah beberapa generasi. Golongan pestisida bermacam-macam dan masing-masing mempunyai target kerja terhadap serangga yang berbeda. Penggunaan yang terus menerus dan tidak terkendali dapat menimbulkan resistensi dan mengganngu ekosistem alam. Contoh insektisida yang saat ini banyak digunakan adalah golongan piretroid sintetik seperti sipermetrin, bifentrin, permetrin dan lain-lain.
5.        Menentukan cara aplikasinya
Bagaimana cara aplikasi juga merupakan satu persoalan yang krusial. Di mana dilakukannya, kapan waktunya, dengan cara apa, formulasi mana yang paling tepat, serta siapa yang akan melakukannya. Cara-cara aplikasi yang dapat dilakukan untuk hama pengganggu di peternakan dan permukiman adalah space spraying (penyemrotan ruang),  residual spraying (penyemprotan permukaan), baiting (pengumpanan) atau fumigasi. Sebagai contoh pada aplikasi space spray, waktu merupakan hal yang sangat penting. Karena bersifat nonresidual, maka penyemprotan harus dilakukan pada saat serangga sasaran dalam keadaan aktif.
Berikut ini merupakan contoh-contoh aplikasi dari pengamatan perilaku hewan terhadap usaha pengendalian hama dan penyakit, antara lain:
1.        Pemanfaatan predator semut rangrang (Oecophylla smaragdina F) pada lalat buah
Semut rangrang (Oecophylla smaragdina F), memiliki sifat morfologik sebagai pemangsa. Keberadaan rangrang sebagai pemangsa juga tampak apabila rangrang bertemu dengan ulat pemakan daun (Hamijaya & Asikin, 2003). Hasil pengamatan intensitas kerusakan akibat lalat buah pada paria, yang diberi perlakuan semut rangrang dimana intensitas kerusakan relatif jauh lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan. Tanaman paria yang diberi semut rangrang intensitas kerusakan berkisar antara 1-2%. Hal ini dikarenakan rangrang sangat aktif mencari mangsa terutama dari lalat buah berupa telur yang diletakkan pada paria tersebut. Telur-telur tersebut tidak sempat menetas untuk menjadi larva, karena diambil semua untuk dimakan dan sebagian dibawa kedalam sarang sebagai makanan anak-anaknya (Thamrin & Asikin, 2008).
Pengamatan secara visual dimana imago lalat buah yang hinggap pada tanaman paria tersebut selalu dihadang oleh rangrang dan diserbu beramai-ramai, sehingga dapat menghindar dari peletakkan telur oleh imago lalat buah. Disamping itu, semut rangrang tersebut kalau menggigit kebiasaannya selalu mengeluarkan cairan yang berbau langu. Hal ini diduga pula bahwa cairan berbau yang dikeluarkan oleh rangrang dapat mempengaruhi/mengusir lalat buah (Thamrin & Asikin, 2008).
Semut rangrang yang bersarang pada tanaman jambu juga menunjukkan sifat predasi yang nyata. Fenomena ini terjadi pada jambu, yang buahnya diserang lalat buah. Larva lalat buah yang sedang keluar untuk berkepompong sudah dihadang semut rangrang. Begitu bagian depan telah muncul dan digigit, larva segera ditarik keluar dan dikeroyok oleh 5-8 ekor rangrang yang menggigit dengan posisi melingkar, sehingga larva lalat buah tidak berkutik (Soeprapto, 1999).
2.        Parasitoid lalat Tachinid pada Ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites)
Ulat jengkal yang terparasit gagal membentuk kepompong dan muncul larva lalat tachinid yang akan berkepompong. Dari koleksi larva ulat jengkal yang dipelihara di laboratorium Balittan Banjarbaru menunjukkan bahwa tingkat parasitasi cukup tinggi dan bervariasi pada setiap generasi. Tingkat parasitasi tertinggi terjadi pada generasi II dan terus menurun pada generasi III dan IV.
Kalshoven (1981), menjelaskan bahwa tachinid tampak kurang efektif dalam mengatur populasi serangga hama dibanding parasitoid Hymenoptera. Jumlah tachinid hanya mulai meningkat cepat apabila populasi inang sangat tinggi. Larva ulat jengkal yang terparasit menunjukkan reaksi gerak yang lebih lambat dibandingkan dengan larva yang bebas parasit. Selain itu tampak gerakan besar pada bagian tertentu dari tubuh ulat jengkal sementara bagian lainnya hampir tetap. Larva lalat muncul pada ruas ketujuh dari larva ulat jengkal.
3.        Predator Micraspis sp dan Harmonia sp
Micaraspis sp merupakan predator aktif memangsa kutu daun pada tanaman lombok, dimana kutu daun ini dapat berfungsi sebagai vektor dari penyakit virus keriting pada lombok. Di lahan rawa baik pada lahan pasang surut maupun lebak, jenis predator ini cukup banyak ditemukan pada tumbuhan liar ciplokan, (Physalis angulata L) dan diduga bahwa predator ini dapat hidup dan berkembang pada tumbuhan liar tersebut atau sebagai inang alternatif dari predator tersebut.
Menurut Tjitrosoepomo (1989) dalam Siswanto dan Trisawa (2001), setiap jenis tanaman/tumbuhan memiliki daya tarik yang berbeda terhadap serangga. Serangga umumnya datang mengunjungi bunga karena tertarik oleh bau atau warna untuk mendapatkan makanan. Bunga adalah bagian tumbuhan yang paling menarik bagi serangga karena bau dan warnanya dan mendapatkan makanannya, namun seringkali mempunyai bentuk khas, sehingga serangga yang mampu memanfaatkan hanya jenis tertentu saja. Tertariknya predator pada gulma ciplokan tersebut diduga bahwa gulma tersebut mempunyai zat penarik dari kelompok lipida yang bersifat menguap dan aromatis karena menurut Sunjaya (1970), banyak serangga tertarik bau wangi yang dipancarkan tumbuhan. Zat yang berbau wangi tersebut pada hakekatnya adalah senyawa kimia yang mudah menguap seperti alkohol, eter atau minyak esensial.
4.        Pengendalian hama dan penyakit tikus
Keberadaan tikus bisa ditandai dengan ditemukannya kotoran, bangkai,  dan/atau jejak kaki tikus. Tanda-tanda lain yang juga harus diperhatikan yaitu apakah terdapat bekas keratan atau lubang pada tanah, pintu, kawat kasa, dan tempat-tempat lain yang biasa menjadi sarang tikus. Jika sudah didapatkan tanda-tanda keberadaan tikus, selanjutnya dilakukan penangkapan tikus dengan perangkap. Penangkapan tikus dilakukan agar dapat dilakukan tahapan selanjutnya yaitu identifikasi untuk mengetahui spesiesnya, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan yang sesuai dengan spesies tikus tersebut (Depkes RI, 2008).
Sesungguhnya masih banyak hewan lain yang juga dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama dan penyakit. Karena hewan diciptakan oleh Allah SWT bukan tanpa alasan. Semua hewan pasti memiliki manfaat untuk manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, kita sebagai manusia sudah sepatutnya menjaga kelestarian hewan agar tidak punah dari muka bumi. Janganlah kita menjadi kacang yang lupa terhadap kulitnya, bisa menggunakan makhluk ciptaan Allah tetapi tidak mau menjaga kelestariannya. Kita harus bersikap lebih arif dan bijaksana dalam penggunaan dan pemanfaatan hewan sebagai tanda terima kasih kita kepada Allah SWT.



DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Tikus: Khusus di Rumah Sakit. Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Hadi, U.K. 2011. Bioekologi Berbagai Jenis Serangga Pengganggu pada Hewan Ternak di Indonesia dan Pengendaliannya. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmayet, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

Hamijaya, M.Z., dan S.Asikin. 2003. Predator Semut Rangrang Oecophylia smaragdina (F) dalam Mengendalikan Hama Utama Pare (Momordica charantia L). Hasil Penelitian Balittra. Balittra. Banjarbaru.

Kalshoven, L.G.E. and P.A. van der Laan. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. P.T. Ichtiar Baru. Van Hoeve. Jakarta.

Lehner, P.N. 1979. Design and Execution of Animal Behavior Research: An Overview.  Journal of Animal Science. 65:1213-1219.

Siswanto dan I.M.Trisawa. 2001. Keanekaragaman Serangga yang Berasosiasi dengan Tanaman Obat di Kebun Koleksi Balittro. Prosiding Simposium Kearekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Kearekaragaman Hayati Indonesia. Cipayung, 16-18 Oktober 2000.

Soptrapto, M. 1999. Asosiasi Rangrang Oecophylia smaragdina (F) (Hymenoptera: Formicidae) dengan Serangga lain. Dalam Syarif, H., Sadeli, N., Enton Santosa, Sumeno, Delon S., Tohidin., Sudarjat, Bey Permadi, M.Suhunan, S., Nenet Susniahti dan Elly Rosmaria. Pengelolaan Serangga secara Berkelanjutan. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Symposium Entomologi 26 Juni 1997. Bandung.

Suhara, 2010. Modul Pembelajaran: Ilmu Kelakuan Hewan (Animal Behaviour). Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA UPI.

Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-Dasar Serangga. Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian.

Thamrin, M., & S. Asikin. 2008. Alternatif Pengendalian Hama Serangga Sayuran Ramah Lingkungan di Lahan Lebak. Balittra. Banjarbaru.

Wahyuni, I. 2005. Tingkah Laku, Reproduksi, dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys helwandii). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 
Hutan Kota sebagai Kawasan Pendidikan Lingkungan Hidup
(Nana Citrawati Lestari, A2C110009, SDN Inti Pengambangan 3, Banjarmasin)
         Krisis lingkungan hidup dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan saja. Hal ini memberikan kesan bahwa manusia kurang sadar dan peduli terhadap masalah lingkungan. Ketidakpedulian ini disebabkan oleh berbagai sebab, salah satunya adalah kurangnya pendidikan mengenai lingkungan. Sejauh ini, pendidikan tentang lingkungan hidup diajarkan hanya sebagai salah satu materi pada mata pelajaran IPA dan Geografi. Oleh karena itu, pendidikan lingkungan perlu diajarkan di sekolah-sekolah sebagai bekal penting untuk menghasilkan manusia-manusia yang peduli terhadap lingkungan.
Pengertian pendidikan lingkungan hidup (PLH) yang dirumuskan oleh IUCN (1970) yaitu proses mengenali nilai, dan konsep klarifikasi dalam rangka untuk mengembangkan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menghargai keterkaitan antara manusia, budaya dan biofisik sekitarnya. Pendidikan lingkungan juga mencakup praktek dalam pengambilan keputusan dan perumusan diri kode perilaku tentang isu-isu mengenai kualitas lingkungan jadi pendidikan lingkungan berkaitan dengan hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan. Dalam pendidikan lingkungan menekankan pada proses pengetahuan, pemahaman, sikap, nilai, keterampilan dan tanggung jawab manusia terhadap masalah lingkungan.
         Masalah lingkungan disebabkan karena ketidakmampuan mengembangkan sistem nilai sosial, gaya hidup dan lembaga yang tidak mampu membuat hidup kita selaras dengan lingkungan. Penanggulangan masalah lingkungan harus melalui pemecahan yang menekankan prinsip keberlanjutan (sustainable) yaitu dengan melakukan efisiensi penggunaan sumber daya alam dan menerapkan prinsip etika lingkungan. Hidup selaras dengan alam hanya akan dicapai jika setiap orang memahami prinsip keberlanjutan dan melaksanakan etika lingkungan. Sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan dalam memperkenalkan pendidikan lingkungan ialah hutan kota.
Menurut Djamal (2005), hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 Tahun 2002, hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.
         Kawasan hutan kota memiliki fungsi ilmu pengetahuan, pendidikan, dan rekreasi. Sebagaimana yang tertulis dalam PP No. 63 Tahun 2002 Pasal 27, hutan kota dapat dimanfaatkan untuk keperluan (1) pariwisata alam, rekreasi, dan atau olah raga; (2) penelitian dan pengembangan; (3) pendidikan; (4) pelestarian plasma nutfah; dan (5) budidaya hasil hutan bukan kayu. Jadi pengunjung dapat memasuki wilayah ini dengan kondisi tertentu baik untuk tujuan sumber inspirasi, pendidikan, kultural, maupun rekrasi.
Hutan kota dengan aneka vegetasi dan satwa yang mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga dapat menjadi  laboratorium  hidup untuk sarana penelitian dan pendidikan, khususnya pendidikan berwawasan lingkungan. Siswa diharapkan akan lebih mudah berkonsentrasi ketika belajar dalam lingkungan hutan kota yang bersuasana nyaman dan sejuk.  Suasana tersebut bisa mengurangi ketegangan saraf (stres) siswa dan guru ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Kicauan dan tarian burung pun  akan menghilangkan kejemuan (Dahlan, 1992). Dengan demikian penyampaian informasi pun akan lebih efektif.
        Masalah lingkungan hidup yang dapat diangkat sebagai topik pembelajaran sangat beragam. Semua yang ada di hutan kota dapat dijadikan obyek pembelajaran. Berbagai obyek yang tersaji di hutan kota dapat dilihat dan diamati secara langsung sehingga mampu memberikan pemahaman yang lebih baik pada peserta didik. Adapun obyek-obyek yang bisa dipelajari di hutan kota antara lain:
1.        Beragai jenis tumbuhan dan manfaatnya.
2.        Berbagai jenis hewan dan manfaatnya.
3.        Ekosistem hutan kota.
4.        Bentuk dan struktur hutan kota.
5.        Berbagai manfaat hutan kota.
6.        Biodiversitas.
7.        Dan lain-lain.
Agar fungsi hutan kota sebagai sarana pendidikan lingkungan hidup lebih efektif, maka perlu dilakukan pengembangan dan pengelolaan oleh pemerintah dan masyarakat. Salah satunya ialah melalui pengadaan fasilitas pendidikan, seperti laboratorium, gudang penyimpanan bibit, wisata alam flora fauna, tempat konservasi alam, dan lain-lain (Santoso, 2010). Yang jika dikoloborasikan maka akan membentuk suatu science centre yang fungsinya difokuskan sebagai sarana penunjang pendidikan berwawasan lingkungan (Andrean dkk, 2010). Melalui science centre, tujuan peningkatan kualitas pendidikan guna menciptakan generasi muda yang cerdas dan berkualitas akan dapat tercapai. Apalagi jika pada tempat tersebut terdapat beberapa fasilitas pendidikan, seperti ruang perpustakaan, ruang komputer, laboratorium, ruang bermain, panggung, ruang baca, outbound, dan ruang ketahananan pangan.
Hal yang tak boleh dilupakan dalam pengembangan dan pengelolaan hutan kota sebagai sarana pendidikan ialah pengadaan petugas pengelola serta jasa informasi dan interpretasi. Jasa informasi yang dimaksud di sini ialah informasi-informasi mengenai nama daerah maupun nama ilmiah dari berbagai spesies hewan dan tumbuhan, berat, umur, dan lain-lain (Soendjoto, 1996). Namun pendekatan informasi saja belumlah cukup menunjang pendidikan lingkungan (Henning & Pakpahan, 1991).
Informasi-informasi yang ada di hutan kota harus diinterpretasikan, baik dalam bentuk selebaran, buku saku, ataupun melalui keterangan-keterangan yang diberikan oleh petugas interpretasi. Interpretasi memuat status spesies di habitatnya, manfaat bagi kehidupan, jenis makanan, dan lain-lain (Soendjoto, 1996).  Interpretasi pada dasarnya adalah komunikasi antara gagasan dan nilai. Tilden (1957) mendefinisikan interpretasi sebagai "kegiatan pendidikan yang bertujuan untuk mengetahui arti dan hubungan melalui pengalaman secara langsung, dan melalui media ilustratif, dan tidak melalui informasi fakta”.
Sebagai bagian dari pendidikan lingkungan, kegiatan interpretasi dihadapkan pada tantangan yang tinggi untuk menginterpretasikan bagaimana sumberdaya hayati di hutan kota dapat menyumbangkan pemahaman kepada peserta didik dan masyarakat. Oleh karena itu, para pengelola hutan kota juga perlu memberikan pedoman prinsip-prinsip dan nilai dari pengelolaan hutan kota kepada para pengunjung, serta mengajak mereka berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi pengunjung secara langsung pada semua kegiatan berwawasan lingkungan yang dilakukan di hutan kota akan lebih efektif dalam meningkatkan pemahaman pengunjung tentang lingkungan.


DAFTAR PUSTAKA

Andrean, F. Syamsi, A.A. Purnama, F. Fitra, E. Mustika, Y. Rahma, dan R. Kardiman. 2010. Rancangan Pembuatan Hutan Kota Padang di Delta Malvinas. Program Studi Biologi, Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang.

Dahlan, E.N. 1992. Pembangunan Hutan Kota di Indonesia. Media Konservasi Vol. 14. Staf Pengajar Hutan Kota, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Djamal, I.Z. 2005. Tantangan Lingkungan & Lansekap Hutan Kota. Bumi Aksara. Jakarta.

Henning, D.H., & A. Pakpahan. 1991. Pendidikan Lingkungan dan Taman Nasional: Strategi Konservasi Dunia dan Kegiatan Interpretasi Alam. Media Konservasi. Vol. 3 (2). April 1991: 1-9.

IUCN. 1970. Environmental Education Workshop. Nevada, USA.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota.

Santoso, Y.A. 2010. Pengembangan Hutan Kota sebagai Sarana Pendidikan dan Wisata di Purwodadi Grobogan. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

Soendjoto, M.A. 1996. Taman Maskot Banjarmasin: antara Fungsi Rekreasi, Pendidikan, dan Konservasi. Merindukan Alam Asri Lestari. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.  

Tilden, F. 1957. Interpreting Our Heritage. The University of North Carolina Press. Chapel Hill.

Daur Ulang Kertas sebagai Upaya Mengatasi Pemanasan Global

Daur Ulang Kertas Sebagai Upaya Mengatasi
Pemanasan Global
(Nana Citrawati Lestari, NIM. A2C110009, SDN Pengambangan 3, Banjarmasin)

Global warming atau yang juga kita kenal dengan pemanasan global, merupakan sebuah isu lingkungan hidup yang sudah tidak asing lagi kita dengar. Hampir setiap lapisan masyarakat sudah mengerti apa dan bagaimana itu pemanasan global dan menyadari bahwa kita telah ikut andil terhadap efek dari pemanasan global yang saat ini kita semua rasakan tetapi tanpa ada tindakan sebagai bukti nyata bahwa kita telah menyadari kesalahan kita selama ini (Falrisya, 2010). Sementara itu, efek pemanasan global justru semakin bertambah seiring dengan peningkatan emisi karbon ke atmosfer di mana kitalah penyumbang terbesar efek kerusakan lingkungan tersebut. Salah satu sumbangan kita terhadap pemanasan global yakni penggunaan kertas yang begitu berlebihan bahkan bisa dikatakan mubazir.
Kertas adalah bahan yang tipis dan rata, sebuah media utama yang menunjang manusia dalam menuangkan informasi berupa tulisan dan gambar. Kertas juga dapat dijadikan sebagai bahan baku kerajinan (Falrisya, 2010). Selain itu kertas memiliki kegunaan lain misalnya kertas pembersih (tisu) yang digunakan untuk kelengkapan hidangan, kebersihan ataupun toilet. Kertas dihasilkan dengan kompresi serat yang berasal dari pulp yang dibuat dari kayu jati, cemara, pinus, Ek, dan lain-lain (Agustina, 2007).
Pohon yang merupakan bahan baku kertas kini telah begitu banyak berkurang dari muka bumi. Padahal di muka bumi ini pohon mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai penjaga keseimbangan lingkungan. Hal ini dikarenakan pohon dapat menyerap CO2 berlebih yang dihasilkan oleh manusia, sekaligus dapat memproduksi oksigen. Sementara untuk proses produksi kertas, kita telah begitu banyak menebang pohon sehingga merusak hutan. Selain itu proses produksi kertas juga menghasilkan sejumlah emisi serta limbah sisa proses kimia dan mekanik, antara lain proses sulfit dan proses alkali guna mencerna kayu menjadi pulp. Belum lagi adanya proses pemutihan dengan menggunakan klorin. Proses-proses tersebut banyak berakibat buruk bagi lingkungan.

Dalam sebuah proses produksi kertas antara lain (Falrisya, 2010):
  • Satu batang pohon dapat menghasilkan oksigen yang dibutuhkan untuk tiga orang bernapas.
  • Untuk memproduksi satu ton kertas, dibutuhkan tiga ton kayu dan 98 ton
bahan baku lainnya.
  • Untuk memproduksi satu kilogram kertas dibutuhkan 324 liter air.
  • Untuk memproduksi satu ton kertas, dihasilkan gas karbondioksida (CO2) sebanyak kurang lebih 2,6 ton atau sama dengan emisi gas buang yang dihasilkan oleh mobil selama 6 bulan.
  • Untuk memproduksi satu ton kertas, dihasilkan kurang lebih 72.200 liter
limbah cair dan satu ton limbah padat.
  • Industri kertas adalah pemakai energi bahan bakar ke-3 terbesar di dunia.
Dari data di atas, begitu banyak efek negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan kertas daripada efek positifnya. Namun kertas kini sudah menjadi salah satu kebutuhan utama manusia, sama pentingnya dengan kebutuhan energi listrik. Kebutuhan kertas untuk pendidikan dan media informasi memang tidak dapat dihindarkan. Jika kita sulit mengurangi penggunaan kertas, bagaimana jika dengan mengurangi pemakaian pohon sebagai bahan bakunya? Kita bisa memproduksi kertas dari hasil daur ulang limbah kertas. Kertas dapat didaur ulang dengan mencampurkan kertas bekas dengan material kertas baru. Namun kertas akan selalu mengalami penurunan kualitas jika terus didaur ulang. Untuk itulah kertas harus didaur ulang dengan mencampurkan material baru atau mendaur ulangnya menjadi bahan yang berkualitas lebih rendah.
Daur ulang adalah sebuah proses menjadikan suatu bahan bekas menjadi baru kembali dengan tujuan mencegah adanya penggunaan bahan baku yang baru, mengurangi penggunaan energi dan mengurangi kerusakan lingkungan seperti polusi, kerusakan lahan, serta emisi karbon dan gas rumah kaca. Seperti halnya dalam proses hierarki sampah yaitu 3R (Reuse = penggunaan atau pemakaian kembali, Reduce = mengurangi penggunaan, dan Recycle = daur ulang).
Proses daur ulang sangat mudah dan dapat dilakukan sendiri dirumah. Berikut ini merupakan langkah-langkah daur ulang kertas yang telah dirangkum dari Hartono (2010) dan Falrisya (2010), antara lain:
1.        Kertas limbah atau kertas bekas di potong kecil-kecil kemudian direndam di dalam air kurang lebih satu hari, setelah lunak kemudian diblender sampai menjadi bubur kertas.
2.        Setelah itu bubur kertas di cetak dengan menggunakan alat cetak dari kawat kasa berbingkai.
3.        Tempelkan lapisan kertas yang baru ini ke permukaan keras yang rata, misalnya papan kayu. Lepaskan dari saringan kasa.
4.        Serap permukaan kertas yang baru dengan kain untuk menghilangkan kelebihan air. Jemur hingga benar-benar kering di terik matahari.
5.        Saat kertas baru sudah kering, lepaskan perlahan dari permukaan papan.
6.        Jika ingin membuat kreasi dari kertas, misalnya membuat kertas bermotif, kita dapat menambahkan dedaunan atau bahan lain pada saat penyaringan.
Meskipun dengan daur ulang tersebut kita telah mempunyai solusi terhadap pembuatan kertas, namun kita tetap harus menggunakan kertas secara bijak dengan cara menghemat penggunaannya. Penghematan terhadap kertas bisa kita lakukan dengan menghindari penggunaan tisu toilet yang berlebih, memeriksa hasil pengetikan dengan cermat dan teliti sebelum dicetak, dan untuk pengumpulan tugas kuliah yang biasanya berbentuk printout bisa kita ganti dalam bentuk file saja. Sekecil apapun upaya kita untuk memperbaiki lingkungan, tentu tidak akan membuahkan hasil dan tak ada kata sia-sia untuk suatu perbuatan baik.


Referensi:
Agustina, L. 2007. Hemat Kertas Yuk! Pakai Seperlunya.
Diakses 27 Maret 2011

Falrisya, D. 2010. Desain Berkelanjutan: Efek Produksi Kertas Terhadap Lingkungan. Fakultas Seni Rupa dan Desain. ITB. Bandung.

Hartono, R. 2010. Kreasi Mendaur Ulang Sampah. Petungsewu Wildlife Education Center. Malang.