(Nana Citrawati Lestari, A2C110009, SDN Inti Pengambangan 3, Banjarmasin)
Perilaku atau tingkah laku adalah tindakan atau aksi yang mengubah hubungan antara organisme dan lingkungannya. Hal itu merupakan kegiatan yang diarahkan dari luar dan tidak mencakup banyak perubahan di dalam tubuh yang secara tetap terjadi pada makhluk hidup. Perilaku dapat terjadi sebagai akibat suatu stimulus dari luar. Untuk mendeteksi suatu reseptor diperlukan adanya stimulus, untuk mengkoordinasikan respon memerlukan saraf, dan yang menjalankan aksi adalah efektor. Perilaku dapat juga disebabkan stimulus dari dalam, contohnya ketika hewan merasa lapar maka dia akan mencari makanan untuk menghilangkan rasa laparnya (Suhara, 2010).
Berbagai perilaku khas hewan di muka bumi seperti sesungguhnya merupakan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Tanda-tanda tersebut memberikan kita inspirasi untuk mengkaji lebih dalam mengenai berbagai perilaku hewan dan interaksinya dengan lingkungan. Semakin dalam manusia mempelajarinya, semakin banyak pula manfaat yang akan didapat.
Menurut Lehner (1979), perilaku yang dipelajari dari hewan tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa perilaku itu terjadi. Adapun perilaku hewan menurut Tomaszewska diklasifikasikan menjadi sepuluh macam (Wahyuni, 2005), yaitu:
1. Perilaku makan dan minum serta kegiatan lainnya yang berhubungan dengan hal tersebut (ingestive).
2. Perilaku pencarian tempat berteduh (shelter seeking).
3. Perilaku penyidikan (investigatory).
4. Perilaku kecenderungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu (allelomimetic).
5. Perilaku berselisih, bertengkar, dan menghindar (agonistic).
6. Perilaku membuang kotoran dan kencing (eliminative).
7. Perilaku memberikan perhatian dari induk ke anak (epimeletic/care giving).
8. Perilaku meminta perhatian dari anak ke induk (epimeletic/care soliciting).
9. Perilaku seksual atau reproduksi (sexual or reproduction).
10. Perilaku bermain (play).
Hewan sebagai salah satu sumberdaya hayati mempunyai manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, salah satunya untuk pengendalian hama dan penyakit. Pengamatan terhadap perilaku adaptif hewan sangat penting karena merupakan bagian dari langkah pengendalian hama dan penyakit, yakni sebagai bahan pertimbangan sebelum menentukan cara pengendaliannya. Adapun urutan langkah pengendalian hama yang ideal (Hadi, 2011), antara lain:
1. Mengetahui identitas hama sasaran
Apakah hama yang akan dikendalikan dari jenis serangga seperti lalat, tungau, kutu atau dari jenis lain.
2. Mengetahui sifat dan cara hidup (bioekologi) hama sasaran
Mengetahui informasi mengenai bagaimana daur hidup, habitat, waktu dan perilaku makan, waktu dan perilaku beristirahat, jarak terbang atau pemencarannya bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi pengendalian hama. Sebagai contoh, pada pengamatan lalat, kemudian kita ketahui bahwa habitat lalat pradewasa adalah tumpukan kotoran hewan, sampah, dan tempat-tempat pembusukan lainnya, maka sasaran pengendaliannya adalah dengan menghilangkan habitat yang disukai lalat.
3. Memilih alternatif cara pengendalian
Monitoring populasi hama secara terus menerus diperlukan untuk mencari alternatif dalam penanggulangan hama selain menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida memang adalah langkah yang cepat, tetapi bukan hal yang tepat. Karena pestisida secara jangka menengah maupun panjang juga akan membahayakan manusia dan juga organisme lainnya.
4. Memilih pestisida
Apabila keadaan mengharuskan penggunaan pestisida, maka yang harus diingat adalah kemungkinan terjadinya berbagai efek samping seperti kemungkinan keracunan langsung pada ternak dan makhluk bukan-sasaran lainnya, pencemaran, serta timbulnya resistensi pada populasi hama serangga sasaran setelah beberapa generasi. Golongan pestisida bermacam-macam dan masing-masing mempunyai target kerja terhadap serangga yang berbeda. Penggunaan yang terus menerus dan tidak terkendali dapat menimbulkan resistensi dan mengganngu ekosistem alam. Contoh insektisida yang saat ini banyak digunakan adalah golongan piretroid sintetik seperti sipermetrin, bifentrin, permetrin dan lain-lain.
5. Menentukan cara aplikasinya
Bagaimana cara aplikasi juga merupakan satu persoalan yang krusial. Di mana dilakukannya, kapan waktunya, dengan cara apa, formulasi mana yang paling tepat, serta siapa yang akan melakukannya. Cara-cara aplikasi yang dapat dilakukan untuk hama pengganggu di peternakan dan permukiman adalah space spraying (penyemrotan ruang), residual spraying (penyemprotan permukaan), baiting (pengumpanan) atau fumigasi. Sebagai contoh pada aplikasi space spray, waktu merupakan hal yang sangat penting. Karena bersifat nonresidual, maka penyemprotan harus dilakukan pada saat serangga sasaran dalam keadaan aktif.
Berikut ini merupakan contoh-contoh aplikasi dari pengamatan perilaku hewan terhadap usaha pengendalian hama dan penyakit, antara lain:
1. Pemanfaatan predator semut rangrang (Oecophylla smaragdina F) pada lalat buah
Semut rangrang (Oecophylla smaragdina F), memiliki sifat morfologik sebagai pemangsa. Keberadaan rangrang sebagai pemangsa juga tampak apabila rangrang bertemu dengan ulat pemakan daun (Hamijaya & Asikin, 2003). Hasil pengamatan intensitas kerusakan akibat lalat buah pada paria, yang diberi perlakuan semut rangrang dimana intensitas kerusakan relatif jauh lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan. Tanaman paria yang diberi semut rangrang intensitas kerusakan berkisar antara 1-2%. Hal ini dikarenakan rangrang sangat aktif mencari mangsa terutama dari lalat buah berupa telur yang diletakkan pada paria tersebut. Telur-telur tersebut tidak sempat menetas untuk menjadi larva, karena diambil semua untuk dimakan dan sebagian dibawa kedalam sarang sebagai makanan anak-anaknya (Thamrin & Asikin, 2008).
Pengamatan secara visual dimana imago lalat buah yang hinggap pada tanaman paria tersebut selalu dihadang oleh rangrang dan diserbu beramai-ramai, sehingga dapat menghindar dari peletakkan telur oleh imago lalat buah. Disamping itu, semut rangrang tersebut kalau menggigit kebiasaannya selalu mengeluarkan cairan yang berbau langu. Hal ini diduga pula bahwa cairan berbau yang dikeluarkan oleh rangrang dapat mempengaruhi/mengusir lalat buah (Thamrin & Asikin, 2008).
Semut rangrang yang bersarang pada tanaman jambu juga menunjukkan sifat predasi yang nyata. Fenomena ini terjadi pada jambu, yang buahnya diserang lalat buah. Larva lalat buah yang sedang keluar untuk berkepompong sudah dihadang semut rangrang. Begitu bagian depan telah muncul dan digigit, larva segera ditarik keluar dan dikeroyok oleh 5-8 ekor rangrang yang menggigit dengan posisi melingkar, sehingga larva lalat buah tidak berkutik (Soeprapto, 1999).
2. Parasitoid lalat Tachinid pada Ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites)
Ulat jengkal yang terparasit gagal membentuk kepompong dan muncul larva lalat tachinid yang akan berkepompong. Dari koleksi larva ulat jengkal yang dipelihara di laboratorium Balittan Banjarbaru menunjukkan bahwa tingkat parasitasi cukup tinggi dan bervariasi pada setiap generasi. Tingkat parasitasi tertinggi terjadi pada generasi II dan terus menurun pada generasi III dan IV.
Kalshoven (1981), menjelaskan bahwa tachinid tampak kurang efektif dalam mengatur populasi serangga hama dibanding parasitoid Hymenoptera. Jumlah tachinid hanya mulai meningkat cepat apabila populasi inang sangat tinggi. Larva ulat jengkal yang terparasit menunjukkan reaksi gerak yang lebih lambat dibandingkan dengan larva yang bebas parasit. Selain itu tampak gerakan besar pada bagian tertentu dari tubuh ulat jengkal sementara bagian lainnya hampir tetap. Larva lalat muncul pada ruas ketujuh dari larva ulat jengkal.
3. Predator Micraspis sp dan Harmonia sp
Micaraspis sp merupakan predator aktif memangsa kutu daun pada tanaman lombok, dimana kutu daun ini dapat berfungsi sebagai vektor dari penyakit virus keriting pada lombok. Di lahan rawa baik pada lahan pasang surut maupun lebak, jenis predator ini cukup banyak ditemukan pada tumbuhan liar ciplokan, (Physalis angulata L) dan diduga bahwa predator ini dapat hidup dan berkembang pada tumbuhan liar tersebut atau sebagai inang alternatif dari predator tersebut.
Menurut Tjitrosoepomo (1989) dalam Siswanto dan Trisawa (2001), setiap jenis tanaman/tumbuhan memiliki daya tarik yang berbeda terhadap serangga. Serangga umumnya datang mengunjungi bunga karena tertarik oleh bau atau warna untuk mendapatkan makanan. Bunga adalah bagian tumbuhan yang paling menarik bagi serangga karena bau dan warnanya dan mendapatkan makanannya, namun seringkali mempunyai bentuk khas, sehingga serangga yang mampu memanfaatkan hanya jenis tertentu saja. Tertariknya predator pada gulma ciplokan tersebut diduga bahwa gulma tersebut mempunyai zat penarik dari kelompok lipida yang bersifat menguap dan aromatis karena menurut Sunjaya (1970), banyak serangga tertarik bau wangi yang dipancarkan tumbuhan. Zat yang berbau wangi tersebut pada hakekatnya adalah senyawa kimia yang mudah menguap seperti alkohol, eter atau minyak esensial.
4. Pengendalian hama dan penyakit tikus
Keberadaan tikus bisa ditandai dengan ditemukannya kotoran, bangkai, dan/atau jejak kaki tikus. Tanda-tanda lain yang juga harus diperhatikan yaitu apakah terdapat bekas keratan atau lubang pada tanah, pintu, kawat kasa, dan tempat-tempat lain yang biasa menjadi sarang tikus. Jika sudah didapatkan tanda-tanda keberadaan tikus, selanjutnya dilakukan penangkapan tikus dengan perangkap. Penangkapan tikus dilakukan agar dapat dilakukan tahapan selanjutnya yaitu identifikasi untuk mengetahui spesiesnya, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan yang sesuai dengan spesies tikus tersebut (Depkes RI, 2008).
Sesungguhnya masih banyak hewan lain yang juga dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama dan penyakit. Karena hewan diciptakan oleh Allah SWT bukan tanpa alasan. Semua hewan pasti memiliki manfaat untuk manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, kita sebagai manusia sudah sepatutnya menjaga kelestarian hewan agar tidak punah dari muka bumi. Janganlah kita menjadi kacang yang lupa terhadap kulitnya, bisa menggunakan makhluk ciptaan Allah tetapi tidak mau menjaga kelestariannya. Kita harus bersikap lebih arif dan bijaksana dalam penggunaan dan pemanfaatan hewan sebagai tanda terima kasih kita kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Tikus: Khusus di Rumah Sakit. Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Hadi, U.K. 2011. Bioekologi Berbagai Jenis Serangga Pengganggu pada Hewan Ternak di Indonesia dan Pengendaliannya. Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmayet, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.
Hamijaya, M.Z., dan S.Asikin. 2003. Predator Semut Rangrang Oecophylia smaragdina (F) dalam Mengendalikan Hama Utama Pare (Momordica charantia L). Hasil Penelitian Balittra. Balittra. Banjarbaru.
Kalshoven, L.G.E. and P.A. van der Laan. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. P.T. Ichtiar Baru. Van Hoeve. Jakarta.
Lehner, P.N. 1979. Design and Execution of Animal Behavior Research: An Overview. Journal of Animal Science. 65:1213-1219.
Siswanto dan I.M.Trisawa. 2001. Keanekaragaman Serangga yang Berasosiasi dengan Tanaman Obat di Kebun Koleksi Balittro. Prosiding Simposium Kearekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Kearekaragaman Hayati Indonesia. Cipayung, 16-18 Oktober 2000.
Soptrapto, M. 1999. Asosiasi Rangrang Oecophylia smaragdina (F) (Hymenoptera: Formicidae) dengan Serangga lain. Dalam Syarif, H., Sadeli, N., Enton Santosa, Sumeno, Delon S., Tohidin., Sudarjat, Bey Permadi, M.Suhunan, S., Nenet Susniahti dan Elly Rosmaria. Pengelolaan Serangga secara Berkelanjutan. Prosiding Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia V dan Symposium Entomologi 26 Juni 1997. Bandung.
Suhara, 2010. Modul Pembelajaran: Ilmu Kelakuan Hewan (Animal Behaviour). Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA UPI.
Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-Dasar Serangga. Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian.
Thamrin, M., & S. Asikin. 2008. Alternatif Pengendalian Hama Serangga Sayuran Ramah Lingkungan di Lahan Lebak. Balittra. Banjarbaru.
Wahyuni, I. 2005. Tingkah Laku, Reproduksi, dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys helwandii). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
No comments:
Post a Comment